Kamis, 11 November 2010

merapi pernah ratusan tahun mengubur Borobudur

http://www.tribunnews.com/foto/bank/images/Borobudur-rusak-berat.jpg

YOGYAKARTA- Jangan heran bila letusan gunung Merapi sejak 26 Oktober hingga 11 November 2010 masih berlangsung ini abunya menyebar hingga ke DIY, Jateng dan Jawa Barat.

Tentu saja termasuk dua candi terkenal di dunia yaitu Borobudur di Magelang dan candi Prambanan di Klaten tak luput dari siraman abu vulkanik dari Merapi. Bahkan dahulu Merapi pernah mengubur candi Bodobudur dan Prambanan selama ratusan tahun.

Gunung Merapi menyemburkan awan panas (wedhus gembel) yang menggulung sebagian desa di bawahnya. Kinahrejo dan Kaliadem adalah dua dusun yang hancur diterjang awan panas bercampur kerikil, pasir, dan abu yang panasnya mencapai lebih 600 derajat Celcius.

Mas Penewu Surakso Hargo atau Mbah Maridjan, ikon kearifan lokal, abdi dalem keraton di gunung itu, meninggal diterjang awan panas dalam posisi sujud, karena dia sedang shalat magrib.

Gunung Merapi merupakan gunung superaktif dan memiliki karakter ”aneh” dibanding gunung berapi lain di dunia. Berkali-kali ia memuntahkan lahar yang didahului gempa bumi.

Dahulu, kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra) luluh lantak oleh amukannya sehingga Raja Mpu Sendok memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Candi Borobudur dan Candi Prambanan puncak karya budaya pada masa itu pun terkubur abu dan pasir selama ratusan tahun.

Ketika kerajaan Mataram Baru (Islam) didirikan oleh Panembahan Senopati, keberadaan Merapi pun terasa penting. Kosmologi kejawen yang dibangun Panembahan Senopati mengakomodasi dunia gaib penguasa Gunung Merapi dan penguasa Laut Selatan.

Mataram Islam yang berada di dataran subur antara Gunung Merapi dan Laut Selatan mendapat dukungan Ratu Kidul, penguasa laut selatan dan Syeh Jumadil Qubro, penguasa gunung Merapi.

Awan panas Merapi yang pada 26 Oktober lalu datang pada waktu magrib mengingatkan orang pada kategori waktu masyarakat Jawa: candhik olo, sepenggal waktu transisi siang ke malam yang ”berbahaya”.

Pada waktu candhik olo anak-anak kecil harus berhenti bermain dan pulang ke rumah, orang yang sedang bekerja harus berhenti, orang yang memanjat pohon harus turun, orang yang dalam perjalanan harus berhenti, dan tidak boleh tidur. Ini untuk menghindari malapetaka yang bisa menimpa manusia.

Harta Pusaka

Dalam perspektif ethno-ecology masyarakat lereng Merapi memiliki kearifan lokal (local wisdom) dalam memprediksi bencana yang bisa datang. Lahar adalah kategori bahwa Merapi beraktivitas seperti sehari-hari dan kondisi aman.

Wedhus gembel adalah kategori bahaya tahap awal. Wedhus gembel adalah awan panas bercampur abu, pasir, dan kerikil panas yang bisa menghanguskan dan membakar apa saja yang dia lewati. Awan panas ini jika dilihat dari jauh maka bentuknya seperti bulu kambing (wedhus) gembel .

Njebluk (meletus) adalah kategori bahaya tahap lanjut, kondisi sangat kritis sehingga semua harus mengungsi. Fase njebluk ini dalam rentang waktu yang lama, belum tentu dalam seumur hidup orang bisa mengalami fase Merapi njebluk ini, yakni sewaktu Merapi memuntahkan isi perutnya secara eksplosif.

Dua hari setelah erupsi Merapi ternyata sebagian masyarakat telah kembali menengok rumah dan harta bendanya. Masyarakat pun kembali enggan untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman menurut pemerintah.

Masyarakat tidak mau direlokasi atau ikut transmigrasi karena memiliki pemahaman bahwa pertama; tanah warisan orang tua adalah harta pusaka yang harus dilindungi dan dipelihara. Falsafah ini terungkap dalam kalimat sadumuk bathuk senyari bumi tak bela nganti mati (bahwa tanah adalah simbol harga diri, harus dipertahankan walau sampai mati sekalipun).

Kedua; orang Jawa sangat terikat oleh relasi terhadap makam nenek moyang. Secara periodik orang Jawa mengunjungi, merawat , dan nyekar makam orang tua dan leluhur. Ini adalah tanda bakti mereka pada leluhur. Mengunjungi makam leluhur juga mengukuhkan keberadaan mereka sebagai orang Jawa. Jika orang Jawa tidak tahu atau tidak memiliki makam leluhur, maka hidup mereka menjadi hampa makna.

Masyarakat lereng Merapi sedang terluka karena kehilangan sanak saudara dan harta benda. Pemerintah jangan membuat luka kedua dengan mewacanakan, apalagi memaksa, masyarakat direlokasi atau ditransmigrasikan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat harus diperhatikan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar